Vespa yang Mogok
Vespa.
Adalah nama yang selama ini jadi identitas kita, terkenal dengan ber-3, ter-aneh pun bertiga, kita adalah satu.
Pernah bermimpi dengan setajam busur panah yang siap meluncur dan menembus langit kehidupan, pernah bercerita akan sulitnya kehidupan, bercanda tentang rasa, menonton film malaysia sampai jam 3.
Tentang kita, aku menyayangi kalian.
Tak mudah memang bersahabat ber-3, terkadang ada canda yang tak sengaja melukai, ada luka yang tak terlihat demi bersama, ada tawa yang kita buat demi mencairkan rasa, dan terkadang ada pisau yang tak sadar menggores vespa kita.
Pisau itu telah merambah pada bagian tubuh vespa itu, menggores terlalu banyak hingga akhirnya vespa harus Is-ti-ra-hat, ingat ya, harus istirahat bukan tak bisa lagi untuk Hidup.
Perpisahan itu bermula antara kau dengannya, meruncing dengan sendirinya, menajam dengan ketidak-pekaan. Dan itu semua mampu menghipnotis vespa kita untuk berdiam dan seakan menghilang.
Kita sama-sama yakin, bukan ini yang kita ingin, kita seperti memisahkan diri dan menjauh untuk saling memperbaiki.
Tapi dibalik pintu yang kita buat sendiri, kita saling bersedih dan mendoa untuk tidak begini, dan meminta pada Allah akan kecepatan waktu yang kita inginkan agar keterpisahan ini cepat dan terlewat.
Pada akhirnya aku yang merasa bersalah akan prihal kepribadianku yang sok tau, aku seperti memecahkan masalah tapi sebenernya aku menyimpulkan sendiri bahwa ini salahku. "Aku tak pandai menjaga rasa". Kita berpisah, dia dengan usahanya untuk melupakan, kau dengan kepribadian tak-pekamu, dan aku dengan kesendirianku.
Pada akhirnya kita melewati masanya masing-masing, dia menemukan teman baiknya, kau dan aku masih bersama tapi ternyata kita tak sama.
Masing-masing dari kita memberi sepasi agar jarak itu berarti.
Aku merasa seperti berdua denganmu tapi merasa hambar. Bagai sayur tanpa garam, katanya.
Adalah nama yang selama ini jadi identitas kita, terkenal dengan ber-3, ter-aneh pun bertiga, kita adalah satu.
Pernah bermimpi dengan setajam busur panah yang siap meluncur dan menembus langit kehidupan, pernah bercerita akan sulitnya kehidupan, bercanda tentang rasa, menonton film malaysia sampai jam 3.
Tentang kita, aku menyayangi kalian.
Tak mudah memang bersahabat ber-3, terkadang ada canda yang tak sengaja melukai, ada luka yang tak terlihat demi bersama, ada tawa yang kita buat demi mencairkan rasa, dan terkadang ada pisau yang tak sadar menggores vespa kita.
Pisau itu telah merambah pada bagian tubuh vespa itu, menggores terlalu banyak hingga akhirnya vespa harus Is-ti-ra-hat, ingat ya, harus istirahat bukan tak bisa lagi untuk Hidup.
Perpisahan itu bermula antara kau dengannya, meruncing dengan sendirinya, menajam dengan ketidak-pekaan. Dan itu semua mampu menghipnotis vespa kita untuk berdiam dan seakan menghilang.
Kita sama-sama yakin, bukan ini yang kita ingin, kita seperti memisahkan diri dan menjauh untuk saling memperbaiki.
Tapi dibalik pintu yang kita buat sendiri, kita saling bersedih dan mendoa untuk tidak begini, dan meminta pada Allah akan kecepatan waktu yang kita inginkan agar keterpisahan ini cepat dan terlewat.
Pada akhirnya aku yang merasa bersalah akan prihal kepribadianku yang sok tau, aku seperti memecahkan masalah tapi sebenernya aku menyimpulkan sendiri bahwa ini salahku. "Aku tak pandai menjaga rasa". Kita berpisah, dia dengan usahanya untuk melupakan, kau dengan kepribadian tak-pekamu, dan aku dengan kesendirianku.
Pada akhirnya kita melewati masanya masing-masing, dia menemukan teman baiknya, kau dan aku masih bersama tapi ternyata kita tak sama.
Masing-masing dari kita memberi sepasi agar jarak itu berarti.
Aku merasa seperti berdua denganmu tapi merasa hambar. Bagai sayur tanpa garam, katanya.
Rasa itu semakin menjadi pemburu jarak antara kita berdua, sejak hadirnya saudaramu dalam kehidupanmu yang baru. Kau dengannya, aku dengan siapa??
Aku masih disini untukmu, aku masih disini untuknya, tapi aku tak pandai mengungkapkan rasa, aku diam tapi hatiku mengutukmu dengan berbagai rasa kesal karna perpisahan yang samar. Aku adalah wanita yang beku akan bicara, tapi aku adalah wanita yang cair akan rasa.
Dan kau sosok paling menyebalkan yang aku sayang, sosok paling aneh yang aku kenal.
Aku akui kau dengan mereka seperti bahagia, tapi aku tau kau tak bahagia. Kau bahagian dengan vespa kita. Hah sok tauku muncul lagi.
Aku memang tak sepenuhnya memahami jiwamu, tapi aku mengerti rasamu. Aku bukanlah sosok yang menjadi poros ceritamu, bukan pula menjadi sosok yang menjadi gelak tawamu. Tapi, aku disini.. Dengan beribu hempasan yang kau lakukan, dengan sejuta caramu meninggalkan, ku tau.. Itu caramu membubarkan vespa, tak ingin ada rasa terikat yang membuatmu takut menyakitiku sama seperti halnya kau tak sengaja menyenggolnya dengan pisaumu.
Tapi...
Aku disini meski jiwaku tak mendampingimu.
Disudut lain aku memandangmu, lebih tepatnya dari kaca kecil yang aku lihat, kau duduk jauh dibelakangku dan darinya.
Akuemandangmu dengan sunggingan senyum tipis alaku, pahamilah aku disini, disampingmu yang selalu menghawatirkanmu kala ku tak mampu menjelajah ruang mataku mencari hadirnya dirimu.
Setelah kepergiannya aku merasa inginkan kita tetap bersama menjaga vespa hingga akhirnya kita ber-tiga.
Kini kau bersama mereka, bersama sosok yang aku kenal, tertawa, seperti mengukir cerita membangun mahkota persahabatan.
Tapi.
Rasaku berkata berbeda, kau sejujurnya terpencil berdiri dalam buramnya hutan, menderita dalam kesepian.
Matamu seakan memancarkan kebahagiaan, tapi korneamu memantulkan kesedihan, aku disini sahabat. Disini, ia disini duduk didepanmu dengan dua telinga yang terbuka, dengan dua mata yang berharap, dengan dua tangan ingin memeluk. Aku disini dengan semua tawa yang kau buat dengan mereka dimana tidak ada aku disitu. Ia diceritamu.
Kita seperti tetangga yang memiliki tembok penghalang, seperti memiliki dinding tebal yang kedap pandang, kedap suara.
Sesampainya dirumah, kita seperti tak mengenal, kita seperti tak pernah ada tawa, tak pernah ada rasa, tak pernah ada genggaman.
Aku masih disini berharap namaku dan namanya masih ada sebagai sahabatmu.
Yang dulu pernah menapaki jalan yang dihantarkan senja,menyapu gelap lampu jalan, ya.. Itulah aktifitas yang sering kita lakukan.
Berjalan menapaki jalan yang begitu ramai dengan lalu-lalang kendaraan, kadang kita bercerita, kadang kita kita tertawa, dan kadang kita hanya pergi ke satu toko hanya untuk membeli sepotong roti. Dan kita kembali ke satu toko kelontong langganan kita ber-tiga, yang pasti bukan membeli lontong.
Kita memesan es dingin rasa jeruk ala anak kosan, dan segera meminumnya karena yang kita dengar adalah Azan magrib yang menandakan Puasa telah mencapai pada puncaknya. Ternyata itu suara azan yang kita reka sendiri berdasarkan rasa lelah dan haus.
Untuk kalian sahabatku. Semoga kalian mengingatnya.
Sahabatmu. "Teteh".
Aku masih disini untukmu, aku masih disini untuknya, tapi aku tak pandai mengungkapkan rasa, aku diam tapi hatiku mengutukmu dengan berbagai rasa kesal karna perpisahan yang samar. Aku adalah wanita yang beku akan bicara, tapi aku adalah wanita yang cair akan rasa.
Dan kau sosok paling menyebalkan yang aku sayang, sosok paling aneh yang aku kenal.
Aku akui kau dengan mereka seperti bahagia, tapi aku tau kau tak bahagia. Kau bahagian dengan vespa kita. Hah sok tauku muncul lagi.
Aku memang tak sepenuhnya memahami jiwamu, tapi aku mengerti rasamu. Aku bukanlah sosok yang menjadi poros ceritamu, bukan pula menjadi sosok yang menjadi gelak tawamu. Tapi, aku disini.. Dengan beribu hempasan yang kau lakukan, dengan sejuta caramu meninggalkan, ku tau.. Itu caramu membubarkan vespa, tak ingin ada rasa terikat yang membuatmu takut menyakitiku sama seperti halnya kau tak sengaja menyenggolnya dengan pisaumu.
Tapi...
Aku disini meski jiwaku tak mendampingimu.
Disudut lain aku memandangmu, lebih tepatnya dari kaca kecil yang aku lihat, kau duduk jauh dibelakangku dan darinya.
Akuemandangmu dengan sunggingan senyum tipis alaku, pahamilah aku disini, disampingmu yang selalu menghawatirkanmu kala ku tak mampu menjelajah ruang mataku mencari hadirnya dirimu.
Setelah kepergiannya aku merasa inginkan kita tetap bersama menjaga vespa hingga akhirnya kita ber-tiga.
Kini kau bersama mereka, bersama sosok yang aku kenal, tertawa, seperti mengukir cerita membangun mahkota persahabatan.
Tapi.
Rasaku berkata berbeda, kau sejujurnya terpencil berdiri dalam buramnya hutan, menderita dalam kesepian.
Matamu seakan memancarkan kebahagiaan, tapi korneamu memantulkan kesedihan, aku disini sahabat. Disini, ia disini duduk didepanmu dengan dua telinga yang terbuka, dengan dua mata yang berharap, dengan dua tangan ingin memeluk. Aku disini dengan semua tawa yang kau buat dengan mereka dimana tidak ada aku disitu. Ia diceritamu.
Kita seperti tetangga yang memiliki tembok penghalang, seperti memiliki dinding tebal yang kedap pandang, kedap suara.
Sesampainya dirumah, kita seperti tak mengenal, kita seperti tak pernah ada tawa, tak pernah ada rasa, tak pernah ada genggaman.
Aku masih disini berharap namaku dan namanya masih ada sebagai sahabatmu.
Yang dulu pernah menapaki jalan yang dihantarkan senja,menyapu gelap lampu jalan, ya.. Itulah aktifitas yang sering kita lakukan.
Berjalan menapaki jalan yang begitu ramai dengan lalu-lalang kendaraan, kadang kita bercerita, kadang kita kita tertawa, dan kadang kita hanya pergi ke satu toko hanya untuk membeli sepotong roti. Dan kita kembali ke satu toko kelontong langganan kita ber-tiga, yang pasti bukan membeli lontong.
Kita memesan es dingin rasa jeruk ala anak kosan, dan segera meminumnya karena yang kita dengar adalah Azan magrib yang menandakan Puasa telah mencapai pada puncaknya. Ternyata itu suara azan yang kita reka sendiri berdasarkan rasa lelah dan haus.
Untuk kalian sahabatku. Semoga kalian mengingatnya.
Sahabatmu. "Teteh".
Komentar
Posting Komentar